Oleh : Bambang Haryanto
Link like crazy. Perang pendapat meletus tentang blog. Pelakunya bukan pakar telematika yang sering merangkap sebagai pakar pornomatika itu. Tetapi menyangkut nama B.L. Ochman, Warren Kinsella dan Jay Rosen. Anda sudah mengenal mereka ? Dua nama pertama itu berbeda pendapat dengan nama ketiga mengenai ngeblog. Utamanya menyangkut masalah : tulisan di blog itu sebaiknya pendek atau panjang ?
B.L. Ochman, seorang blogger dan corporate blog strategist dalam artikelnya yang berjudul menarik dan provokatif, How to Write Killer Blog Posts and More Compelling Comments menyarankan agar tulisan di blog itu pendek-pendek saja. Setiap posting sekitar 250 kata. Tips lainnya, juga bernas. Seperti paragraf yang pendek. Juga, jangan matikan selera humor Anda.
Sementara itu Jay Rosen, profesor jurnalistik dari Universitas New York dan pengelola blog PressThink.org berpendapat sebaliknya. Ketika tampil sebagai pembicara dalam konferensi Exploring the Fusion Power of Public and Participatory Journalism (2004),
seperti dilaporkan Leonard Witt, pelopor gerakan representative journalism dengan judul Blogging Advice from Jay Rosen: Be Complex ia berpendapat, bahwa “gaya” ngeblognya komplek, panjang, dalam dan kaya nuansa.
David Akin, moderator konferensi itu, sebelumnya memberikan info menarik : gaya postingan blog Jay Rosen yang panjang dikatakan menular. Karena para pembacanya kemudian menulis komentar yang juga panjang-panjang. “Kunjungi blog dia dan dalam waktu satu setengah jam kemudian Anda masih saja terus membaca, dan berpikir, sehingga tidak salah bila Jay Rosen memberi nama blognya sebagai PressThink,” lanjut David Akin. Bahkan Jay Rosen berpendapat, ia menganggap para pembaca blognya menginginkan sesuatu yang dapat mengebor batok kepala mereka.
Jay Rosen, bagi saya, benar adanya. Isi kepala ini yang dibor oleh pemikiran-pemikiran Rosen mengenai kedahsyatan media-media baru, utamanya blog, sungguh mencerahkan. Memabukkan. Dalam artikel yang dimuat di situs organisasi Wartawan Tanpa Tapal Batas, berjudul Now I can write what I think, ia katakan bahwa menulis blog itu harus pendek-pendek karena orang tidak punya waktu, sebagai tidak beralasan. “Saya tidak mempercayainya,” tegasnya.
“Alasan dan nasehat itu semata-mata menghambat kebebasan saya untuk menulis segala apa yang saya pikirkan. Karena ide dasar meluncurkan blog PressThink saya adalah pembebasan. Wow, sekarang saya memiliki majalah saya sendiri. Saya mampu menulis segala apa saja yang saya fikirkan !,” seru Jay Rosen.
Tipikal postingan blog dia adalah esai yang panjangnya antara 1.500 sampai 2.500 kata. Kalau B.L. Ochman punya nasehat bagi para blogger agar dalam setiap posting menyertakan banyak sekali tautan, link like crazy, formula itu juga berlaku bagi Jay Rosen. Ada sekitar 20-30 hyperlink dalam tiap esainya.
Menggali terowongan. Rumus Rosen, bukan Ochman, yang kemudian lebih suka saya ikuti selama ini. Karena kesenangan. Menulis blog secara relatif panjang-panjang itu, bagi saya, ibarat melakukan aksi petualangan seperti tokoh Alice dalam bukunya Lewis Carrol (1832–1898), Alice's Adventures in Wonderland.
“Curiouser and curiouser !,” seru Alice dalam salah satu aksinya. Rasa ingin tahu, rasa penasaran seperti Alice itu, memandu saya. Baik dalam menemukan gagasan, mengumpulkan rujukan, dan juga ketika sedang menuliskannya. Anda sebagai blogger tentu tidak asing dengan hal seperti ini.
Menulis, bagi saya, seperti melakukan perjalanan di bawah tanah. Menggali terowongan. Kalau menulis untuk media cetak, baik surat pembaca atau artikel, memang harus tahu diri. Ada pembatasan kolom, misalnya. Tetapi menulis untuk blog diri sendiri ? Petualangan !
Dalam bertualang itu kita dapat melewati terowongan yang telah ada. Mengikuti topik atau alur pikiran tulisan orang lain sebelumnya. Atau melakukan aksi menggali terowongan-terowongan yang baru dalam kegelapan. Menyambungkan terowongan yang satu ke terowongan lainnya.
Meminjam larik puisinya Robert Frost(1874–1963), “Two roads diverged in a wood, and I—I took the one less travelled by, And that has made all the difference,” maka momen yang membahagiakan muncul, sekaligus membebaskan, ketika menelusuri terowongan gelap baru yang belum pernah ditempuh oleh orang lain. Kita memperoleh pengalaman baru. Termasuk ketika terowongan baru itu akhirnya bisa tembus dan terjalin dengan terowongan lain yang entah berapa tahun lalu, pernah kita jelajahi sebelumnya.
Momen ekshilarasi seperti itu, tak ayal membuat seorang novelis Perancis, Stendhal (1783–1842), mengeluarkan ujaran : mereka yang mampu menikmati aktivitas menulis secara mendalam, membuat aktivitas membaca tak lebih hanya sebagai kesenangan yang kedua.
Menulis relatif lebih panjang itu prosesnya bermiripan dengan pengalaman ketika melakukan olah raga jalan kaki di pagi hari. Ketika baru menempuh 1-2 km, Anda akan merasa biasa-biasa saja. Tetapi melewati ambang tertentu, 3-4 km, tubuh akan mengeluarkan endorphin, morfin alami dari tubuh kita, yang membuat badan merasa nyaman, segar, fikiran pun diliputi keheningan dalam keceriaan.
Dalam blog, jalinan pelbagai terowongan itu bisa berwujud dalam hyperlink, sesuatu mukjijat yang mustahil ditemui pada media berbasis atom/kertas, baik buku atau koran. Atau penyebutan nama-nama pelaku cerita. Memang tidak sedikit para blogger senantiasa berpendekatan me, me, and me, mementingkan diri sendiri.
Tetapi hemat saya blog akan lebih bisa berguna bila dirancang dengan sikap mental yang berkelimpahan. Memang itu ciri media berbasis digital ini. Apalagi semakin banyak nama, peristiwa atau tokoh yang disebut, blog bersangkutan akan berpeluang semakin visible, semakin menonjol, bukan ? Bukankah itu manfat pula dari pengadaan fasilitas tag yang utama ?
Orang Kampung di BBC. Blog adalah senjata andalan gerakan jurnalisme warga. Lebih detilnya, silakan tanya saja kepada dedengkotnya, Dan Gillmor, mantan wartawan berpengaruh dari San Jose Mercury News. Ia pernah bersama satu meja dengan Jay Rosen dalam acara konferensi A Wake Up Call : Can Trust and Quality Save Journalism (2005) di San Antonio, AS. Saat itu Jay Rosen berkata bahwa salah satu peluang bagi para pelaku jurnalisme warga adalah sebagai sumber. Sumber rujukan. Sumber berita.
Sebagai blogger, tanggal 14 Oktober 2007, saya merasakan kemewahan sebagai sumber berita itu. Wartawan Donny Maulana mendaulat saya untuk menjadi nara sumber dalam acara Seni dan Budaya di Radio BBC Siaran Indonesia. Topiknya mengenai langkanya klub komedi sebagai kawah penggemblengan komedian-komedian solo, tunggal, stand-up comedian yang cerdas, demi kemajuan masa depan komedi Indonesia.
Sebagai orang kampung, yang tinggal di Wonogiri, kesempatan bisa ngobrol di corong BBC seperti ini sungguh tak terbayangkan. Blog saya Komedikus Erektus yang membuat hal istimewa itu terjadi. Peristiwa lainnya : sebagai inisiator komunitas penulis surat pembaca se-Indonesia, di bawah payung Epistoholik Indonesia, gara-gara meluncurkan blog pula yang membuat nama saya bisa ditemukan oleh wartawan A. Bimo Wijoseno dari majalah Intisari.
Ia kemudian menuliskan profil dan visi-misi komunitas Epistoholik Indonesia saya di Intisari (Juli/2004), bersanding dengan Bapak Gandhi Sukardi, yang juga aktivis penulis surat pembaca asal Jakarta. Ia adalah ayah dari politikus Laksamana Sukardi, yang kini berkampanye sebagai calon presiden di Pilpres 2009 mendatang. Peristiwa serupa adalah ketika profil keluarga besar, atau trah saya muncul di Harian Solopos (5/7/2007), yang kemudian dijadikan sebagai memorabilia, berupa pin (foto).
Blog juga mampu menjangkau hal jual-beli jeruk bali, citrus grandis, asal Pati. Terkesan dengan perjuangan Pak Sukir, petani pionir jeruk bali madu, saya telah tulis kisahnya di blog Komedikus Erektus saya. Ibu Lanny, seorang pemasok buah-buahan asal Semarang, rupanya telah dipandu oleh Google untuk sampai ke postingan saya satu ini.
Ia lalu menelpon saya. Jadilah kemudian ia berbisnis buah jeruk bali madu dengan Pak Sukir di Pati. Jarak fisik antara Semarang-Pati sebenarnya lebih dekat dibanding jarak Semarang-Wonogiri. Tetapi Ibu Lanny “dipaksa” menempuh jarak kontak Semarang-Wonogiri, dan baru Semarang-Pati. Tak apa, semuanya dilakukan secara elektronik, dan jauh lebih murah adanya !
Kemampuan blog dalam memajang banyak data akan bermanfaat bagi banyak orang. Apalagi seperti diungkap Chris Anderson dalam bukunya The Long Tail (2006), sekarang ini data apa saja yang terpajang di dunia maya semakin mudah untuk ditemukan. Apalagi mesin pencari Google yang semakin hari semakin cerdas ketika semakin banyak data yang terhimpun dalam pangkalan datanya.
Merujuk kemampuan itu, jadikan blog Anda sebagai katalisator. Katalisator dalam ilmu kimia adalah zat, atau sebagai enzim, yang mampu mempercepat atau mempermudah reaksi kimia tanpa dirinya terpengaruh oleh reaksi yang terjadi. Atau dalam bahasa Malcolm Gladwell dalam bukunya The Tipping Point (2000), jadikan atau mampukan juga blog Anda sebagai connector, penghubung. Ada pengalaman kecil saya tentang hal satu ini, tentang festival musik keroncong.
Keroncong Mandarin. “Lagu Bengawan Solo karya maestro keroncong asal Solo, Gesang Martohartono, dinyanyikan dalam irama keroncong, itu biasa. Namun kalau Bengawan Solo dinyanyikan dalam irama keroncong dengan iringan musik tradisional China, itu tidak biasa. Inilah yang ditampilkan Harmony Chinese Music Group Bandung pada Festival Keroncong Internasional 2008 atau International Keroncong Festival 2008, di Solo, Jawa Tengah, Kamis (4/12) malam.”
Itulah awal berita di Harian Kompas (12/12/2008). Kelompok musik Harmony Chinese Music Group asal Bandung itu bisa ikut pentas di Solo gara-gara blog juga. Manajernya, Andrey Harmony, mengirim email kepada saya. Kami tidak saling mengenal. Andrey Harmony ingin mengetahui alamat email atau telepon dari Phedet Wijaya, ketua panitia festival keroncong tersebut.
Pedhet Wijaya adalah tokoh radio di Solo. Ia sebelumnya lama berkiprah di radio Bandung. Saat awal 2007 itu ia sempat berkontak email dengan saya gara-gara isi surat pembaca saya di harian Kompas Jawa Tengah yang memprotes kadar profesionalitas radio Karavan FM Solo yang tidak konsisten dalam me-relai siaran BBC Siaran Indonesia.
Dari postingan saya di blog Esai Epistoholica itulah, kira-kira, Andrey Harmony mengetahui hubungan saya dengan Pedhet Wijaya, juga data alamat email saya. Begitulah akhir ceritanya : kelompok keroncong uniknya Andrey Harmony itu bisa berpentas di Solo. Saya sempat usul kepada Phedet Wijaya agar kegiatan festivalnya itu dibuatkan blog. Email saya itu tidak memperoleh jawaban.
Pengalaman unik ketika blog saya kembali sebagai penghubung, terjadi akhir Januari 2009. Pagi-pagi (25/1/2009) saya memperoleh telepon dari Feby Kumalasari, dari Surabaya Plaza Hotel. Saya tidak mengenalnya. Ia meminta informasi mengenai aktivis LSM yang bergerak dalam advokasi atau kampanye memerangi ancaman bahaya merokok. Hotelnya memutuskan hendak melarang pengunjung untuk merokok dan akan mengadakan kegiatan sosialisasi berupa seminar.
Oh, gumam saya, ternyata blog saya B.U.B.A.R. : Bebaskan Udara Bebas Asap Rokok yang terbengkalai lama itu pun masih bisa bermanfaat. Walau sebenarnya saya tidak tahu mengapa Feby mengontak saya. Mengapa bukan kepada beberapa alamat lain, yang dengan bantuan Google rasanya lebih relevan sebagai sumber rujukan tentang kampanye anti rokok itu dibandingkan wong Wonogiri satu ini ?
Terima kasih, Feby. Dengan bantuan Google juga, dengan fasilitas Internet di Perpustakaan Daerah Wonogiri (“terima kasih untuk Pak Sarjito dan mBak Dewi Werdiningsih”) saya berusaha membantu Feby Kumalasari. Akhirnya saya berusaha hubungkan ia untuk mengontak Dr. Widjajanti dari Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) Jakarta.
Sekadar nostalgia, tahun 2002 saya pernah main ke kantor LM3 ini. Sesudahnya, di tahun 2004, beberapa kali bertukar email dengan dr. Didy Purwanto, saat itu Sekretaris Umum LM3. Beberapa gagasan (menurut saya) inovatif untuk mendukung kampanye lembaga ini, antara lain sebagai “kantor berita bahaya merokok” dengan menyebar informasi rutin ke pelbagai sekolah, sayangnya tidak memperoleh sambutan yang berlanjut untuk direalisasikan.
Kantor LM3 berada di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Saat itu saya memperoleh kaos berslogan kampanye berhenti merokok, “Quit to Win 2002” dan saya kenakan saat menjadi bintang untuk film dokumentasi Honda The Power of Dreams Documentary. Film ini telah ditayangkan selama satu jam di TransTV, 29 Juni 2002. Kaos itu juga saya kenakan ketika jadi bintang di acara Bussett-nya TV7 (2005). Di kaos itu ada pula pesan dan tanda tangan reporternya yang menawan : Erika Diana Rizanti.
Anda, para blogger, juga mampu sebagai bintang. Menurut pakar ekonomi atensi Michael H. Goldhaber, dengan blog kita mampu menjadi bintang. Sebutannya : microstar. Walau pun kecil, menurut saya, bila blog tersebut Anda rancang sebagai connector atau katalisator, maka yakinlah bila sinarnya akan mampu menerangi mereka yang membutuhkannya. Pada saat yang benar-benar tepat adanya.
Saya yakin, pengalaman seperti ini saya tidak mengalaminya sendiri ! ***
Bambang Haryanto, blogger kampung yang tinggal di Wonogiri. Ngeblog sejak 2003. Salah satu blognya Esai Epistoholica diundang untuk tercatat dalam direktori blog berkelas, Blogged.com, yang bermarkas di Alhambra, California, AS.
Memenangkan Mandom Resolution Award 2004 dengan mengusung tesis manfaat blog untuk pemberdayaan komunitas kaum epistoholik atau pencandu penulisan surat pembaca sebagai salah satu pilar penegakan kehidupan berdemokrasi di Indonesia
scd
Selasa, 03 Februari 2009
Senin, 24 November 2008
Solo Cyber City Dalam Gugatan Blogger Solo
Oleh : Bambang Haryanto
Senyapnya blogger Solo. “Anda seorang blogger ?” Itulah pertanyaan yang mungkin paling manis bagi telinga seorang blogger. Hal itu saya alami pada sebuah sore hari yang bergairah di kawasan city walk Solo, 30 Juli 2008. Di sisi kanan dan kiri kawasan pedestrian itu ramai berjajar para netters dengan laptop mereka, asyik mengikuti aksi browsing Internet bersama di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, jalan utama kota Solo.
Acara tersebut, yang diikuti 468 peserta, merupakan aksi pemecahan Rekor Museum Indonesia (MURI) kategori browsing Internet bersama-sama. Tanggal 30 Juli kemudian dicanangkan sebagai Solo Cyberholic Day. Solo punya hari mabuk Internet. Solo punya hari gandrung Internet. Kota Solo sedang memamerkan otot kekuatannya di bidang teknologi informasi.
Pertanyaan kejutan “Anda seorang blogger ?” tadi muncul dari Gus Koko. Ia mengaku sebagai blogger dari Bandung. Ia berkalungkan kartu identitas dari Blogger Indonesia. Sore itu ia menyambangi hampir satu demi satu mereka yang sedang asyik dengan laptopnya, dengan pertanyaan serupa. Untuk yang sudah memiliki blog, ia melakukan tukar-menukar URL di secarik kertas bloknotnya. Untuk yang belum ngeblog, ia sarankan agar segera ngeblog.
Kami berdua lalu jalan bareng dan saya membeo saja sapaan dia itu. Saya terkesan dengan ikhtiar Gus Koko itu. Sampai-sampai saya tidak kritis atau skeptis untuk menanyakan cerita atau status organisasi yang tertera di kartu ID-nya itu. Bahkan saya tidak sempat memperhatikannya. Sesama blogger sebaiknya memiliki sangka baik, bukan ? Para blogger adalah bersaudara. Begitu kata hati saya.
Tetapi yang lalu mengusik adalah, ia juga menanyakan eksistensi blogger Solo saat itu. Gus Koko menyentil bahwa banyak peristiwa besar di Solo, tetapi liputannya di dunia maya hanya oleh media online yang standar. Itu pun tidak masif. “Mana blogger Solo ? Mana suara blogger Solo ?”
Urban guerrilla. Sebagai orang Wonogiri, walau kelahiran Solo, saya tidak tahu jawabnya. Rupanya, pertanyaan itu baru bisa agak terjawab empat bulan kemudian. Ketika berlangsung acara Jagongan Blogger a la Solo, 23 November 2008. Mengambil momentum Pesta Blogger Nasional 2008 (22/11/2008), para blogger Solo dapat saling bertemu. Lokasinya di gerai Speedy Hik, lantai 3, Solo Grand Mall.
Dengan dukungan Speedy Solo dan Laptop Solo, komunitas bloggger Pasarsolo.com, menggelar acara jagongan atau ketemuan sesama blogger Solo untuk rembukan. Topiknya kali ini menggugat kelanjutan proklamasi Pemkot Solo untuk merealisasikan diri sebagai sebuah kota cyber di tahun 2010. Juga mendata peran apa saja bagi para blogger Solo dalam mengisi proklamasi bersangkutan.
Dalam acara itu, yang kebetulan sebagai pencetus gagasan 30 Juli sebagai Solo Cyberholic Day, saya didaulat sebagai provokator untuk memancing lalu lintas sumbang saran dan obrolan. Pekerjaan saya relatif mudah ketika seorang blogger Solo (walau asal Makam Haji, Sukoharjo), Haris Firdaus, saya daulat untuk bicara. Karena mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS, fellow pada Kabut Institut, penulis buku dan kolom itu, telah menggugat kelanjutan program Solo Cyber City dalam artikelnya di harian Kompas Jawa Tengah (29 September 2008).
“Apakah konsep kota cyber yang hendak dicapai itu hanya sekadar pemasangan hot spot di tempat-tempat strategis seperti yang telah dilaksanakan sekarang, ataukah juga akan berimbas pada pengelolaan administrasi birokrasi, itu juga tak jelas,” gugatnya.
Ia pun merujuk pernyataan pakar TI internasional Onno W. Purbo, bahwa “tantangan utama membangun cyber city bukanlah pemasangan instalasi fisik teknologi internet. Perangkat fisik teknologi, kata Onno, hanya menjadi satu bagian kecil dari konsepsi kota cyber secara keseluruhan.
Tantangan terbesar justru membangun sebuah komunitas cyber yang berisi sumber daya manusia berkualitas yang mampu memproduksi informasi secara baik. Dalam istilah Onno, sebuah kota cyber hanya akan terwujud dan mampu bertahan hidup tatkala ada knowledge based society, masyarakat berbasis ilmu pengetahuan.”
Pak Jokowi, dengarkanlah. Saya pun tergoda untuk berandai-andai. Di manca negara, wacana sebuah cyber city sering mensyaratkan signifikansi persentase warga kota bersangkutan yang berkiprah dalam bidang teknologi informasi. Sebagai contoh adalah kota Seattle, di bagian utara Amerika Serikat itu. Disana telah bercokol perusahaan-perusaaan kampiun TI kelas dunia, seperti Microsoft, Google, Amazon.com dan belasan perusahaan-perusahaan TI baru yang menyerap tenaga-tenaga kerja baru di bidang teknologi informasi.
Pak Jokowi, pada tahun 2010 nanti sudahkah hadir perusahaan “Microsoft a la Solo”, “Google a la Solo”, atau “Amazon.com a la Solo” di Solo ? Mimpi memang halal dan sah untuk dilambungkan. Juga untuk para blogger Solo. Peserta jagongan kemudian nampak bersepakat kembsali ke bumi. Bahwa, biarlah Pemkot Solo menyelesaikan pekerjaan rumah mereka. Sedang para blogger Solo, yang oleh Haris disebut sebagai gerilyawan urban, harus hadir terus sebagai sumber-sumber suara kritis, dengan pertama kali harus mengasah amunisi terampuh mereka : otak mereka. Memperkaya isi blog-blog mereka.
Pasar gagasan kritis. Sumber-sumber suara kritis itu, yang memperoleh kanal relatif bebas, tentu saja nongkrongnya yang ideal di dunia maya. Internet dan terutama blog memang menjadi tumpuan untuk perjuangan penegakan demokrasi. Sempat saya sebutkan nama-nama Arash Sigarchi di Iran, Raja Petra Kamaruddin di Malaysia, sampai Fuad Al-Farhan di Arab Saudi. Mereka adalah blogger-blogger yang kritis dan kenyang keluar-masuk penjara.
Kritis, tetapi tak usah masuk penjara, itulah semangat dari pendirian portal blog Pasarsolo.com, ko-produser gagasan acara jagongan tadi. “Solo kini sedang naik daun. Sedang menjadi sorotan nasional dan internasional,” kata Sadrah Sumariyarso, motor portal blog Pasarsolo.com ini.
“Tetapi semua itu jangan membuat warga kota menjadi silau. Kebijakan Pemkot harus terus dikawal dengan membangkitkan pemikiran-pemikiran yang kritis pada warganya. Portal Pasarsolo.com hadir untuk menampung suara-suara kritis dari kalangan akar rumput itu,” lanjut Sadrah.
Cita-cita yang hebat. Apalagi memang banyak media massa utama, yang ber-DNA-kan pendekatan atas-bawah, lebih sering sebagai sumber informasi yang bersifat searah. Pendekatannya broadcast, top-down, lebih berfihak kepada para penguasa dan pengusaha. Media massa tradisional itu, yang bersifat oligarki itu, memang senantiasa memposisikan akar rumput berada di pinggiran.
Suara rakyat, suara akar rumput yang otentik dan beragam, memang sering mudah terdengar dalam dengungan sebuah pasar. Semangat pasar itu pula yang kental mengemuka dalam acara jagongan tadi. Mantan wartawan dan eksekutif radio di Solo, Duto Sri Cahyono, misalnya. Ia membuka banyak wacana upaya untuk menumbuh kembangkan komunitas yang kritis dan hidup di blogosfir Solo. Antara lain tentang pembentukan ceruk-ceruk komunitas yang berbasis pada hobi, kegemaran.
Duto banyak cerita menarik tentang hobinya memelihara burung. Dipadu antara kemampuan menulis yang mumpuni dan kejeliannya dalam menangkap peluang pasar, bisnis burung-burung berkicau itu dapat dia rentang “ekor panjang”-nya. Saya juga sempat menyinggung tesisnya Chris Anderson dan the long tail-nya itu. Dalam kiprah Duto, ia menggelarnya sampai ke bisnis sangkar burung, obat-obatan, konsultasi dan bahkan tutorial. “Bersinergi dengan blog, bisnis Anda apa pun, mampu merengkuh dunia,” tegasnya.
Terima kasih, Mas Duto. Masih terkait dengan hobi, Is “Hio” Aryanto, kartunis dan karyawan pers yang berdomilisi di Purwosari, ikut memamerkan blog komunitasnya di Solo yang menampung beragam kreasi dan kegiatan para penggemar penyanyi dan aktivis sosial, Iwan Fals. Taufik menjual beragam merchandise sepakbola terkait kedudukan blognya untuk menampung aktivitas suporter Pasoepati Solo.
Andy, aktivis LSM yang mengkritisi tindakan korupsi di Solo, Patiro, memiliki aktivitas hebat. Tanpa perlu dukungan pemerintah kota, dengan komputer-komputer bekas dan akses Internet tak terbatas bagi kantor LSM-nya, ia telah berusaha meluberkan akses itu sehingga merakyat untuk warga kampungnya di Sodipan, Solo. Salut banget, Mas Andy.
Pasar gagasan yang bergairah. Para blogger Solo lainnya yang hadir, seperti Gabon, Kornelius, I Love Solo, Ladyelen, MySukmana, Hens, Siska, Kusuma, Loso, Yoyo dan belasan simpatisan yang memenuhi gerai Speedy Hik itu, tentu setuju dengan ajakan Mas Khoirul, pengelola gerai menarik ini.
Menurut Mas Khoirul, sarana ini terbuka untuk diisi dengan beragam aktivitas intelektual oleh para blogger Solo. Bahkan tanggal 30 November 2008 di tempat yang sama akan diisi oleh Kurniawan dari UNS Sebelas Maret yang akan membahas topik Trik dan Kiat Mempercantik Blog Anda.
Pasar gagasan yang semoga terus berdengung. Dalam acara itu saya sempat melemparkan wacana bagaimana mensinergikan antara kiprah para blogger Solo dengan potensi-potensi ekonomi kreatif di kota ini. Sebagai tabungan. Kita semua berharap, isi dari lalu-lintas obrolan sore itu dapat menjadi benih-benih yang bisa tumbuh di kemudian hari, untuk menyemarakkan jagat blogsfir dan geliat ekonomi kreatif di Solo masa depan.
“Saya senang skali diSolo ad acra seprti td. Sip!” begitulah potongan SMS dari Haris Firdaus, saya terima ketika senja jatuh dan bis Serba Mulya membawa saya pulang ke Wonogiri. Kabar gembira yang sempat memicu rasa sedih. Sebagai blogger memang nasibnya sering ibarat sebagai dukun : Anda seringkali bukan siapa-siapa di lingkungan Anda, tetapi justru dianggap “sakti” oleh mereka yang jauh di luar lingkungan Anda.
Sore itu, di salah satu mall besar di Solo, menjadi saksi kesedihan saya itu. Sebagai blogger saya bisa “mendalang” di Solo. Tetapi di Wonogiri, kota saya, status saya sebagai blogger merupakan status yang masih tidak terdengar.
Wonogiri, 24/11/2008
schd
Senyapnya blogger Solo. “Anda seorang blogger ?” Itulah pertanyaan yang mungkin paling manis bagi telinga seorang blogger. Hal itu saya alami pada sebuah sore hari yang bergairah di kawasan city walk Solo, 30 Juli 2008. Di sisi kanan dan kiri kawasan pedestrian itu ramai berjajar para netters dengan laptop mereka, asyik mengikuti aksi browsing Internet bersama di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, jalan utama kota Solo.
Acara tersebut, yang diikuti 468 peserta, merupakan aksi pemecahan Rekor Museum Indonesia (MURI) kategori browsing Internet bersama-sama. Tanggal 30 Juli kemudian dicanangkan sebagai Solo Cyberholic Day. Solo punya hari mabuk Internet. Solo punya hari gandrung Internet. Kota Solo sedang memamerkan otot kekuatannya di bidang teknologi informasi.
Pertanyaan kejutan “Anda seorang blogger ?” tadi muncul dari Gus Koko. Ia mengaku sebagai blogger dari Bandung. Ia berkalungkan kartu identitas dari Blogger Indonesia. Sore itu ia menyambangi hampir satu demi satu mereka yang sedang asyik dengan laptopnya, dengan pertanyaan serupa. Untuk yang sudah memiliki blog, ia melakukan tukar-menukar URL di secarik kertas bloknotnya. Untuk yang belum ngeblog, ia sarankan agar segera ngeblog.
Kami berdua lalu jalan bareng dan saya membeo saja sapaan dia itu. Saya terkesan dengan ikhtiar Gus Koko itu. Sampai-sampai saya tidak kritis atau skeptis untuk menanyakan cerita atau status organisasi yang tertera di kartu ID-nya itu. Bahkan saya tidak sempat memperhatikannya. Sesama blogger sebaiknya memiliki sangka baik, bukan ? Para blogger adalah bersaudara. Begitu kata hati saya.
Tetapi yang lalu mengusik adalah, ia juga menanyakan eksistensi blogger Solo saat itu. Gus Koko menyentil bahwa banyak peristiwa besar di Solo, tetapi liputannya di dunia maya hanya oleh media online yang standar. Itu pun tidak masif. “Mana blogger Solo ? Mana suara blogger Solo ?”
Urban guerrilla. Sebagai orang Wonogiri, walau kelahiran Solo, saya tidak tahu jawabnya. Rupanya, pertanyaan itu baru bisa agak terjawab empat bulan kemudian. Ketika berlangsung acara Jagongan Blogger a la Solo, 23 November 2008. Mengambil momentum Pesta Blogger Nasional 2008 (22/11/2008), para blogger Solo dapat saling bertemu. Lokasinya di gerai Speedy Hik, lantai 3, Solo Grand Mall.
Dengan dukungan Speedy Solo dan Laptop Solo, komunitas bloggger Pasarsolo.com, menggelar acara jagongan atau ketemuan sesama blogger Solo untuk rembukan. Topiknya kali ini menggugat kelanjutan proklamasi Pemkot Solo untuk merealisasikan diri sebagai sebuah kota cyber di tahun 2010. Juga mendata peran apa saja bagi para blogger Solo dalam mengisi proklamasi bersangkutan.
Dalam acara itu, yang kebetulan sebagai pencetus gagasan 30 Juli sebagai Solo Cyberholic Day, saya didaulat sebagai provokator untuk memancing lalu lintas sumbang saran dan obrolan. Pekerjaan saya relatif mudah ketika seorang blogger Solo (walau asal Makam Haji, Sukoharjo), Haris Firdaus, saya daulat untuk bicara. Karena mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS, fellow pada Kabut Institut, penulis buku dan kolom itu, telah menggugat kelanjutan program Solo Cyber City dalam artikelnya di harian Kompas Jawa Tengah (29 September 2008).
“Apakah konsep kota cyber yang hendak dicapai itu hanya sekadar pemasangan hot spot di tempat-tempat strategis seperti yang telah dilaksanakan sekarang, ataukah juga akan berimbas pada pengelolaan administrasi birokrasi, itu juga tak jelas,” gugatnya.
Ia pun merujuk pernyataan pakar TI internasional Onno W. Purbo, bahwa “tantangan utama membangun cyber city bukanlah pemasangan instalasi fisik teknologi internet. Perangkat fisik teknologi, kata Onno, hanya menjadi satu bagian kecil dari konsepsi kota cyber secara keseluruhan.
Tantangan terbesar justru membangun sebuah komunitas cyber yang berisi sumber daya manusia berkualitas yang mampu memproduksi informasi secara baik. Dalam istilah Onno, sebuah kota cyber hanya akan terwujud dan mampu bertahan hidup tatkala ada knowledge based society, masyarakat berbasis ilmu pengetahuan.”
Pak Jokowi, dengarkanlah. Saya pun tergoda untuk berandai-andai. Di manca negara, wacana sebuah cyber city sering mensyaratkan signifikansi persentase warga kota bersangkutan yang berkiprah dalam bidang teknologi informasi. Sebagai contoh adalah kota Seattle, di bagian utara Amerika Serikat itu. Disana telah bercokol perusahaan-perusaaan kampiun TI kelas dunia, seperti Microsoft, Google, Amazon.com dan belasan perusahaan-perusahaan TI baru yang menyerap tenaga-tenaga kerja baru di bidang teknologi informasi.
Pak Jokowi, pada tahun 2010 nanti sudahkah hadir perusahaan “Microsoft a la Solo”, “Google a la Solo”, atau “Amazon.com a la Solo” di Solo ? Mimpi memang halal dan sah untuk dilambungkan. Juga untuk para blogger Solo. Peserta jagongan kemudian nampak bersepakat kembsali ke bumi. Bahwa, biarlah Pemkot Solo menyelesaikan pekerjaan rumah mereka. Sedang para blogger Solo, yang oleh Haris disebut sebagai gerilyawan urban, harus hadir terus sebagai sumber-sumber suara kritis, dengan pertama kali harus mengasah amunisi terampuh mereka : otak mereka. Memperkaya isi blog-blog mereka.
Pasar gagasan kritis. Sumber-sumber suara kritis itu, yang memperoleh kanal relatif bebas, tentu saja nongkrongnya yang ideal di dunia maya. Internet dan terutama blog memang menjadi tumpuan untuk perjuangan penegakan demokrasi. Sempat saya sebutkan nama-nama Arash Sigarchi di Iran, Raja Petra Kamaruddin di Malaysia, sampai Fuad Al-Farhan di Arab Saudi. Mereka adalah blogger-blogger yang kritis dan kenyang keluar-masuk penjara.
Kritis, tetapi tak usah masuk penjara, itulah semangat dari pendirian portal blog Pasarsolo.com, ko-produser gagasan acara jagongan tadi. “Solo kini sedang naik daun. Sedang menjadi sorotan nasional dan internasional,” kata Sadrah Sumariyarso, motor portal blog Pasarsolo.com ini.
“Tetapi semua itu jangan membuat warga kota menjadi silau. Kebijakan Pemkot harus terus dikawal dengan membangkitkan pemikiran-pemikiran yang kritis pada warganya. Portal Pasarsolo.com hadir untuk menampung suara-suara kritis dari kalangan akar rumput itu,” lanjut Sadrah.
Cita-cita yang hebat. Apalagi memang banyak media massa utama, yang ber-DNA-kan pendekatan atas-bawah, lebih sering sebagai sumber informasi yang bersifat searah. Pendekatannya broadcast, top-down, lebih berfihak kepada para penguasa dan pengusaha. Media massa tradisional itu, yang bersifat oligarki itu, memang senantiasa memposisikan akar rumput berada di pinggiran.
Suara rakyat, suara akar rumput yang otentik dan beragam, memang sering mudah terdengar dalam dengungan sebuah pasar. Semangat pasar itu pula yang kental mengemuka dalam acara jagongan tadi. Mantan wartawan dan eksekutif radio di Solo, Duto Sri Cahyono, misalnya. Ia membuka banyak wacana upaya untuk menumbuh kembangkan komunitas yang kritis dan hidup di blogosfir Solo. Antara lain tentang pembentukan ceruk-ceruk komunitas yang berbasis pada hobi, kegemaran.
Duto banyak cerita menarik tentang hobinya memelihara burung. Dipadu antara kemampuan menulis yang mumpuni dan kejeliannya dalam menangkap peluang pasar, bisnis burung-burung berkicau itu dapat dia rentang “ekor panjang”-nya. Saya juga sempat menyinggung tesisnya Chris Anderson dan the long tail-nya itu. Dalam kiprah Duto, ia menggelarnya sampai ke bisnis sangkar burung, obat-obatan, konsultasi dan bahkan tutorial. “Bersinergi dengan blog, bisnis Anda apa pun, mampu merengkuh dunia,” tegasnya.
Terima kasih, Mas Duto. Masih terkait dengan hobi, Is “Hio” Aryanto, kartunis dan karyawan pers yang berdomilisi di Purwosari, ikut memamerkan blog komunitasnya di Solo yang menampung beragam kreasi dan kegiatan para penggemar penyanyi dan aktivis sosial, Iwan Fals. Taufik menjual beragam merchandise sepakbola terkait kedudukan blognya untuk menampung aktivitas suporter Pasoepati Solo.
Andy, aktivis LSM yang mengkritisi tindakan korupsi di Solo, Patiro, memiliki aktivitas hebat. Tanpa perlu dukungan pemerintah kota, dengan komputer-komputer bekas dan akses Internet tak terbatas bagi kantor LSM-nya, ia telah berusaha meluberkan akses itu sehingga merakyat untuk warga kampungnya di Sodipan, Solo. Salut banget, Mas Andy.
Pasar gagasan yang bergairah. Para blogger Solo lainnya yang hadir, seperti Gabon, Kornelius, I Love Solo, Ladyelen, MySukmana, Hens, Siska, Kusuma, Loso, Yoyo dan belasan simpatisan yang memenuhi gerai Speedy Hik itu, tentu setuju dengan ajakan Mas Khoirul, pengelola gerai menarik ini.
Menurut Mas Khoirul, sarana ini terbuka untuk diisi dengan beragam aktivitas intelektual oleh para blogger Solo. Bahkan tanggal 30 November 2008 di tempat yang sama akan diisi oleh Kurniawan dari UNS Sebelas Maret yang akan membahas topik Trik dan Kiat Mempercantik Blog Anda.
Pasar gagasan yang semoga terus berdengung. Dalam acara itu saya sempat melemparkan wacana bagaimana mensinergikan antara kiprah para blogger Solo dengan potensi-potensi ekonomi kreatif di kota ini. Sebagai tabungan. Kita semua berharap, isi dari lalu-lintas obrolan sore itu dapat menjadi benih-benih yang bisa tumbuh di kemudian hari, untuk menyemarakkan jagat blogsfir dan geliat ekonomi kreatif di Solo masa depan.
“Saya senang skali diSolo ad acra seprti td. Sip!” begitulah potongan SMS dari Haris Firdaus, saya terima ketika senja jatuh dan bis Serba Mulya membawa saya pulang ke Wonogiri. Kabar gembira yang sempat memicu rasa sedih. Sebagai blogger memang nasibnya sering ibarat sebagai dukun : Anda seringkali bukan siapa-siapa di lingkungan Anda, tetapi justru dianggap “sakti” oleh mereka yang jauh di luar lingkungan Anda.
Sore itu, di salah satu mall besar di Solo, menjadi saksi kesedihan saya itu. Sebagai blogger saya bisa “mendalang” di Solo. Tetapi di Wonogiri, kota saya, status saya sebagai blogger merupakan status yang masih tidak terdengar.
Wonogiri, 24/11/2008
schd
Jumat, 01 Agustus 2008
Internet : Mereka Menikmati “Hotspot” di “City Walk”
Kompas Jawa Tengah, Kamis, 31 Juli 2008
City walk kota Solo penuh ratusan orang yang membawa laptop, Rabu (30/7). Mereka duduk di kursi di hadapan meja panjang atau bundar yang disediakan. Ada pula yang duduk di atas becak sambil menaruh laptop di pangkuannya. Semua mata sibuk menatap layar laptop masing-masing.
Sore itu berlangsung pemecahan rekor mengakses internet secara serentak dengan peserta terbanyak di city walk Kota Solo. Tercatat 468 dari target 600 peserta. Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) menganugerahkan rekor Muri kepada pemerintah Kota Solo, Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia Surakarta, Telkom Speedy dan Republik Aeng Aeng.
Kegiatan ini menandai peluncuran fasilitas hotspot di area city walk Solo. Saat itu ada 50 titik hotspot. Menurut Deputy Executive General PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk Divisi Regional IV Jawa Tengah-DIY Badriyanto. Setelah acara hanya ada 20 titik hotspot.
“Tujuannya untuk mengenalkan internet mudah dan murah kepada masyarakat. Di jalan pun bisa berinternet,” kata Badriyanto. Hadir dalam acara itu Walikota Solo Joko Widodo, Ketua Apkomindo Surakarta R Andoko dan Presiden Republik Aeng Aeng Mayor Haristanto. Turut memeriahkan pemecahan rekor , pengamen reog dan kelompok musik dari Sekolah Menengah Atas Pangudi Luhur St Yosef.
Joko Widodo menandatangani prasasti bertanggal 30 Juli sebagai Solo Cyberholic Day. Pada tahun 2010, Kota Solo berambisi menjadi kota cyber.
Masyarakat menyambut gembira pemasangan fasilitas hotspot gratis di area publik. Contohnya, pasangan Puspita Hanum (22) dan Arif Dwi Sakti (24). Mereka rela nongkrong di city walk sejak pukul 15.00, satu jam sebelum acara dimulai. Sayang mereka mengalami kesulitan karena aliran listrik tidak lancar dan akses internet tidak tersambung.
Setelah berpindah ke lokasi lain, barulah mereka menikmati berselancar di dunia maya dengan laptop masing-masing. Hanum yang guru bimbingan dan konseling di sebuah sekolah menengah pertama swasta di Kota Solo terbiasa nge-net untuk mencari bahan ajar.
“Saya mencari cara mengatasi kesulitan belajar siswa, kenakalan anak-anak dan lain-lain, serta chatting dengan suami yang kuliah di Yogyakarta,” katanya. Ada pun sang suami Arif berharap ada area tertentu di city walk yang tertutup kanopi dan stop kontak untuk laptop agar pada musim hujan pun fasilitas itu tetap bermanfaat. (EKI).
City walk kota Solo penuh ratusan orang yang membawa laptop, Rabu (30/7). Mereka duduk di kursi di hadapan meja panjang atau bundar yang disediakan. Ada pula yang duduk di atas becak sambil menaruh laptop di pangkuannya. Semua mata sibuk menatap layar laptop masing-masing.
Sore itu berlangsung pemecahan rekor mengakses internet secara serentak dengan peserta terbanyak di city walk Kota Solo. Tercatat 468 dari target 600 peserta. Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) menganugerahkan rekor Muri kepada pemerintah Kota Solo, Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia Surakarta, Telkom Speedy dan Republik Aeng Aeng.
Kegiatan ini menandai peluncuran fasilitas hotspot di area city walk Solo. Saat itu ada 50 titik hotspot. Menurut Deputy Executive General PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk Divisi Regional IV Jawa Tengah-DIY Badriyanto. Setelah acara hanya ada 20 titik hotspot.
“Tujuannya untuk mengenalkan internet mudah dan murah kepada masyarakat. Di jalan pun bisa berinternet,” kata Badriyanto. Hadir dalam acara itu Walikota Solo Joko Widodo, Ketua Apkomindo Surakarta R Andoko dan Presiden Republik Aeng Aeng Mayor Haristanto. Turut memeriahkan pemecahan rekor , pengamen reog dan kelompok musik dari Sekolah Menengah Atas Pangudi Luhur St Yosef.
Joko Widodo menandatangani prasasti bertanggal 30 Juli sebagai Solo Cyberholic Day. Pada tahun 2010, Kota Solo berambisi menjadi kota cyber.
Masyarakat menyambut gembira pemasangan fasilitas hotspot gratis di area publik. Contohnya, pasangan Puspita Hanum (22) dan Arif Dwi Sakti (24). Mereka rela nongkrong di city walk sejak pukul 15.00, satu jam sebelum acara dimulai. Sayang mereka mengalami kesulitan karena aliran listrik tidak lancar dan akses internet tidak tersambung.
Setelah berpindah ke lokasi lain, barulah mereka menikmati berselancar di dunia maya dengan laptop masing-masing. Hanum yang guru bimbingan dan konseling di sebuah sekolah menengah pertama swasta di Kota Solo terbiasa nge-net untuk mencari bahan ajar.
“Saya mencari cara mengatasi kesulitan belajar siswa, kenakalan anak-anak dan lain-lain, serta chatting dengan suami yang kuliah di Yogyakarta,” katanya. Ada pun sang suami Arif berharap ada area tertentu di city walk yang tertutup kanopi dan stop kontak untuk laptop agar pada musim hujan pun fasilitas itu tetap bermanfaat. (EKI).
Ketika citywalk berubah jadi arena ngenet gratis
Oleh : Dina Ananti Sawiti Setyani
Ratusan peserta Browsing Internet @ City Walk terlihat wira-wiri menenteng laptop ketika espos, Rabu (30/7) mengintip aktivitas para browser di citywalk. Mereka tengah bersiap untuk alsi mencetak rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan peserta browsing Internet terbanyak, yakni 486 orang.
Setidaknya, sejak pukul 15.00 WIB mereka telah bersiap-siap memasang laptop di meja-meja yang dibalut kain batik. Ada sekitar 50 titik hotspot untuk diakse sekitar 400-an peserta. Ratusan peserta terlihat memenuhi areal citywalk mulai dari Megaland hingga DKT.Sejauh mata memandang terlihat para peserta tengah sibuk memencet keyboard laptop dan asyik berselancar di dunia maya. Tak kurang meja yang disediakan panitia, di sudut lain terlihat pemandangan emnarik ketika salah peserta berumur belasan tahun tengah beraksi untuk ngenet di pohon. Beberapa di antaranya asyik emngakses Internet sembari nongkrong di becak.
Pendukung utama acara ini adalah Pemerintah Kota Surakarta, Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo) selaku penyelenggara dan pencetus ide dan Telkom Speedy selaku penyedia akses Internet.
Menurut Ketua Apkomindo Solo, Ir Andoko, harapannya tahun 2010 Kota Solo dapat menjadi Solo Cybercity. Hotspot dapat di akses di seluruh penjuru di Kota Solo sehingga masyarakat Solo dapat mengakses informasi secara cepat dan mudah.
”Dengan menjamurnya hotspot setidaknya mengubah life style anak muda di Kota Solo. Mereka tak hanya sekedar nongkrong tapi juga main Internetan,” jelas Andoko, sambil menegaskan tanggal 30 Juli ditetapkan sebagai cyber day.
Di sudut lain terlihat, atraksi nyentrik tokoh pewayangan Punakawan tengah bermain Internet. Ada pula tari Kuda Lumping serta hik-hik yang berjajar di citywalk turut meramaikan suasana pencatatan Rekor MURI. Menurut salah satu peserta Browsing Bareng, awan, 22, dirinya mengaku senang dengan perkembangan teknologi di kota Solo. Hal ini sebagai bukti bahwa tidak ada alasan bagi warga Solo untuk gagap teknologi. ”Pemasangan beberapa titik hotspot di public area memudahkan masyarakat untuk emngakses informasi,” papar Awan.
Sumber : Solopos, Kamis, 31 Juli 2008 : ii
Kamis, 31 Juli 2008
Solo Punya Hari Gandrung Internet
Solo – Ratusan masyarakat Solo, kemarin sore (30/7) berbondong-bondong memadati kawasan city walk di sepanjang Jl. Slamet Riyadi, persisnya di depan Kantor Bank Mandiri. Kedatangan mereka tak lain adalah untuk mendukung acara Browsing Internet @ City Walk, sekaligus usaha untuk memecahkan rekor MURI Ngenet terbanyak.
Para peserta acara tersebut mulai berdatangan sejak pukul 16.00 dengan membawa laptop mereka sendiri-sendiri. Begitu datang, para peserta langsung mencari nomor urut yang terpasang di atas meja, yang disusun memanjang. Begitu menemukan nomor, para peserta langsung mengeluarkan laptop dan menenggelamkan diri di dunia maya.
Menurut Humas PT Telkom Kandatel Solo Rachmad Sudjito, dari data yang masuk jumlah peserta acara Browsing Internet @ City Walk tersebut diikuti sekitar 800-an orang. Mereka berasal dari beragam kalangan, mulai dari orang tua, mahasiswa, pelajar sampai anak-anak.
Namun oleh MURI hanya tercatat 500 orang. ”Kami juga tidak tahu ngitungnya bagaimana. Tapi, sepertinya ada sejumlah peserta yang belum connect saat penghitungan dimulai. Jadi tidak masuk hitungan,” ujar Eko.
Saking tingginya antusiasme masyarakat Solo, ven tersebut sekaligus ditetapkan sebagai Cyberholic atau Hari Gandrung Internet di Solo. Dengan pencanangan hari tersebut, maka acara serupa akan terus digelar setiap tanggal 30 Juli per tahunnya. ”Kegiatan ini sekaligus sebagai bentuk dukungan PT Telkom dalam mewujudkan program Pemkot Solo Solo Cyber City 2010 mendatang,” jelas Eko. (vj/tej).
Sumber : Jawa Pos Radar Solo, Kamis, 31 Juli 2008, Hal : 1 & 7.
Kamis, 24 Juli 2008
Babi Hutan, Tasbih dan Solo Cyberholic Day
Oleh : Bambang Haryanto
Email : solocyberday (at) gmail.com
Makhluk rutin. Manusia suka berlaku seperti babi hutan. Konon binatang satu ini seperti bis umum, dengan memiliki rute perjalanan yang itu-itu saja. Pergi melewati jalur tersebut dan pulangnya pun juga akan melalui jalur yang sama. Karena sifat yang mudah ditebak inilah maka babi hutan mudah untuk masuk perangkap.
Kita sebagai manusia juga cenderung menyukai rutinitas. Tak menyadari, kita nyaman saja terhjebak di dalamnya. Berangkat dan pergi ke tempat kerja cenderung melalui jalan yang sama. Makan masakan yang sama. Juga berpikir dengan cara yang sama pula.
Sering tidak kita sadari kemudian betapa hari-hari hidup yang kita lalui nyaris sama antara hari yang satu dengan hari yang lainnya. Hari-hari itu ibarat butiran tasbih, tak ada beda antara satu dengan lainnya, yang terangkai dengan seutas tali waktu. Boleh mingguan, bulan, tahun dan puluhan tahun. Onggokan butir-butir tasbih waktu itu, yang nyaris sama itu, membuat waktu begitu cepat berlalu. Menjadikan onggokan itu terancam tidak punya makna.
Ibarat sidik jari. Manusia mendapatkan jatah yang sama, satu hari terdapat 24 jam di dalamnya. Tetapi antara manusia satu dan lainnya memiliki perbedaan dalam memberi makna atas waktu tersebut. Ada pendapat bijak bahwa sebaiknya hari-hari yang kita lalui itu dibuat seunik sidik jari. Hari yang satu berbeda dengan hari lainnya. Manusia berusaha agar hari tersebut memiliki makna, sejarah sampai kekayaan kenangan, yang tidak seragam pula.
Di negara maju, semangat itu rupanya telah mendarah daging dan membudaya. Dari lapak majalah-majalah bekas di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, saya menemukan majalah Learning 94. Di dalamnya terdapat poster yang sebagian isinya terpajang di atas.
Tercatat data bahwa tanggal 1 Mei dirayakan sebagai Mother Goose Day (saya tak tahu bagaimana menerjemahkannya), lalu Hari Pelestarian Binatang Badak, Minggu Sayang Binatang, Minggu Satwa Kesayangan Nasional, Minggu Kismis Nasional, Minggu Bunga Liar Nasional, sampai Minggu Hormat Untuk POMG.
Kemudian tanggal 2 Mei dirayakan sebagai Hari Ucapan Terima Kasih Untuk Pustakawan Sekolah, Minggu Herbal Nasional dan Minggu Penghargaan Bagi Layanan Umum. Tanggal 12 Mei sebagai Hari Pantun Jenaka, 16 Mei sebagai Hari Para Biografer, 22 Mei Hari Maritim, 25 Mei adalah Hari Nasional Untuk Anak-Anak Hilang dan juga Hari Nasional Tarian Tap.
Solo Cyberholic Day ! Berdasarkan keteladanan di atas, saya memiliki gagasan untuk mengusulkan agar tanggal 30 Juli (2008) sebagai Solo Cyberholic Day. Hari Mabuk Internet. Hari Getol Menjelajah Dunia Maya.
Gagasan itu muncul ketika Mayor Haristanto, Presiden Republik Aeng-Aeng, bercerita kepada saya mengenai rencana acara browsing Internet di City Walk Solo, 30 Juli 2008. Ia dipercaya untuk bekerjasama dengan Pemkot Solo, Apkomindo Surakarta, dan juga Telkom Speedy, guna merealisasikan acara untuk memperoleh Rekor MURI tersebut.
Bahkan kemudian saya juga mengusulkan agar lagu disko dari Boney M, yaitu Hooray ! Hooray ! It’s A Holi-Holiday (1979) dengan modifikasi, dijadikan sebagai lagu tema. Karena dalam teksnya, menurut saya, dapat diubah sehingga memunculkan lirik berbunyi, “solo, solo, cyberholic day ; hooray, hooray, it’s a cyberholic day !” Yang terbayang dalam angan saya adalah, dalam pembukaan acara itu akan tampil kelompok musik SMA St. Yosef Solo, yang akan membawakan lagu tersebut.
Terserah sejarah. Saya telah mendeklarasikan tanggal 12 Juli (2000) sebagai Hari Suporter Nasional yang tercatat di MURI. Juga meluncurkan tanggal 27 Januari (2005), yang bersamaan dengan tanggal kelahiran Wolfgang Amadeus Mozart, sebagai Hari Epistoholik Nasional. Sebagai pendiri komunitas kaum epistoholik, kaum pencandu penulisan surat-surat pembaca, saya juga telah memperoleh MURI pula.
Kelanjutan mengenai gagasan 30 Juli (2008) sebagai Solo Cyberholic Day, saya serahkan kepada haribaan sejarah. Solo adalah kota kelahiran saya, tepatnya di Rumah Sakit Slamet Riyadi (DKT) Solo, hampir 55 tahun yang lalu, yang lokasinya dekat sekali dengan lokasi pelaksanaan acara nge-net bareng warga Solo itu.
Moga sumbangsih gagasan kecil bagi kota kelahiran ini bisa bermanfaat.
Email : solocyberday (at) gmail.com
Makhluk rutin. Manusia suka berlaku seperti babi hutan. Konon binatang satu ini seperti bis umum, dengan memiliki rute perjalanan yang itu-itu saja. Pergi melewati jalur tersebut dan pulangnya pun juga akan melalui jalur yang sama. Karena sifat yang mudah ditebak inilah maka babi hutan mudah untuk masuk perangkap.
Kita sebagai manusia juga cenderung menyukai rutinitas. Tak menyadari, kita nyaman saja terhjebak di dalamnya. Berangkat dan pergi ke tempat kerja cenderung melalui jalan yang sama. Makan masakan yang sama. Juga berpikir dengan cara yang sama pula.
Sering tidak kita sadari kemudian betapa hari-hari hidup yang kita lalui nyaris sama antara hari yang satu dengan hari yang lainnya. Hari-hari itu ibarat butiran tasbih, tak ada beda antara satu dengan lainnya, yang terangkai dengan seutas tali waktu. Boleh mingguan, bulan, tahun dan puluhan tahun. Onggokan butir-butir tasbih waktu itu, yang nyaris sama itu, membuat waktu begitu cepat berlalu. Menjadikan onggokan itu terancam tidak punya makna.
Ibarat sidik jari. Manusia mendapatkan jatah yang sama, satu hari terdapat 24 jam di dalamnya. Tetapi antara manusia satu dan lainnya memiliki perbedaan dalam memberi makna atas waktu tersebut. Ada pendapat bijak bahwa sebaiknya hari-hari yang kita lalui itu dibuat seunik sidik jari. Hari yang satu berbeda dengan hari lainnya. Manusia berusaha agar hari tersebut memiliki makna, sejarah sampai kekayaan kenangan, yang tidak seragam pula.
Di negara maju, semangat itu rupanya telah mendarah daging dan membudaya. Dari lapak majalah-majalah bekas di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, saya menemukan majalah Learning 94. Di dalamnya terdapat poster yang sebagian isinya terpajang di atas.
Tercatat data bahwa tanggal 1 Mei dirayakan sebagai Mother Goose Day (saya tak tahu bagaimana menerjemahkannya), lalu Hari Pelestarian Binatang Badak, Minggu Sayang Binatang, Minggu Satwa Kesayangan Nasional, Minggu Kismis Nasional, Minggu Bunga Liar Nasional, sampai Minggu Hormat Untuk POMG.
Kemudian tanggal 2 Mei dirayakan sebagai Hari Ucapan Terima Kasih Untuk Pustakawan Sekolah, Minggu Herbal Nasional dan Minggu Penghargaan Bagi Layanan Umum. Tanggal 12 Mei sebagai Hari Pantun Jenaka, 16 Mei sebagai Hari Para Biografer, 22 Mei Hari Maritim, 25 Mei adalah Hari Nasional Untuk Anak-Anak Hilang dan juga Hari Nasional Tarian Tap.
Solo Cyberholic Day ! Berdasarkan keteladanan di atas, saya memiliki gagasan untuk mengusulkan agar tanggal 30 Juli (2008) sebagai Solo Cyberholic Day. Hari Mabuk Internet. Hari Getol Menjelajah Dunia Maya.
Gagasan itu muncul ketika Mayor Haristanto, Presiden Republik Aeng-Aeng, bercerita kepada saya mengenai rencana acara browsing Internet di City Walk Solo, 30 Juli 2008. Ia dipercaya untuk bekerjasama dengan Pemkot Solo, Apkomindo Surakarta, dan juga Telkom Speedy, guna merealisasikan acara untuk memperoleh Rekor MURI tersebut.
Bahkan kemudian saya juga mengusulkan agar lagu disko dari Boney M, yaitu Hooray ! Hooray ! It’s A Holi-Holiday (1979) dengan modifikasi, dijadikan sebagai lagu tema. Karena dalam teksnya, menurut saya, dapat diubah sehingga memunculkan lirik berbunyi, “solo, solo, cyberholic day ; hooray, hooray, it’s a cyberholic day !” Yang terbayang dalam angan saya adalah, dalam pembukaan acara itu akan tampil kelompok musik SMA St. Yosef Solo, yang akan membawakan lagu tersebut.
Terserah sejarah. Saya telah mendeklarasikan tanggal 12 Juli (2000) sebagai Hari Suporter Nasional yang tercatat di MURI. Juga meluncurkan tanggal 27 Januari (2005), yang bersamaan dengan tanggal kelahiran Wolfgang Amadeus Mozart, sebagai Hari Epistoholik Nasional. Sebagai pendiri komunitas kaum epistoholik, kaum pencandu penulisan surat-surat pembaca, saya juga telah memperoleh MURI pula.
Kelanjutan mengenai gagasan 30 Juli (2008) sebagai Solo Cyberholic Day, saya serahkan kepada haribaan sejarah. Solo adalah kota kelahiran saya, tepatnya di Rumah Sakit Slamet Riyadi (DKT) Solo, hampir 55 tahun yang lalu, yang lokasinya dekat sekali dengan lokasi pelaksanaan acara nge-net bareng warga Solo itu.
Moga sumbangsih gagasan kecil bagi kota kelahiran ini bisa bermanfaat.
Langganan:
Postingan (Atom)