Selasa, 03 Februari 2009

Blogger, Sang Katalisator

Oleh : Bambang Haryanto


Link like crazy. Perang pendapat meletus tentang blog. Pelakunya bukan pakar telematika yang sering merangkap sebagai pakar pornomatika itu. Tetapi menyangkut nama B.L. Ochman, Warren Kinsella dan Jay Rosen. Anda sudah mengenal mereka ? Dua nama pertama itu berbeda pendapat dengan nama ketiga mengenai ngeblog. Utamanya menyangkut masalah : tulisan di blog itu sebaiknya pendek atau panjang ?

B.L. Ochman, seorang blogger dan corporate blog strategist dalam artikelnya yang berjudul menarik dan provokatif, How to Write Killer Blog Posts and More Compelling Comments menyarankan agar tulisan di blog itu pendek-pendek saja. Setiap posting sekitar 250 kata. Tips lainnya, juga bernas. Seperti paragraf yang pendek. Juga, jangan matikan selera humor Anda.

Sementara itu Jay Rosen, profesor jurnalistik dari Universitas New York dan pengelola blog PressThink.org berpendapat sebaliknya. Ketika tampil sebagai pembicara dalam konferensi Exploring the Fusion Power of Public and Participatory Journalism (2004),
seperti dilaporkan Leonard Witt, pelopor gerakan representative journalism dengan judul Blogging Advice from Jay Rosen: Be Complex ia berpendapat, bahwa “gaya” ngeblognya komplek, panjang, dalam dan kaya nuansa.

David Akin, moderator konferensi itu, sebelumnya memberikan info menarik : gaya postingan blog Jay Rosen yang panjang dikatakan menular. Karena para pembacanya kemudian menulis komentar yang juga panjang-panjang. “Kunjungi blog dia dan dalam waktu satu setengah jam kemudian Anda masih saja terus membaca, dan berpikir, sehingga tidak salah bila Jay Rosen memberi nama blognya sebagai PressThink,” lanjut David Akin. Bahkan Jay Rosen berpendapat, ia menganggap para pembaca blognya menginginkan sesuatu yang dapat mengebor batok kepala mereka.

Jay Rosen, bagi saya, benar adanya. Isi kepala ini yang dibor oleh pemikiran-pemikiran Rosen mengenai kedahsyatan media-media baru, utamanya blog, sungguh mencerahkan. Memabukkan. Dalam artikel yang dimuat di situs organisasi Wartawan Tanpa Tapal Batas, berjudul Now I can write what I think, ia katakan bahwa menulis blog itu harus pendek-pendek karena orang tidak punya waktu, sebagai tidak beralasan. “Saya tidak mempercayainya,” tegasnya.

“Alasan dan nasehat itu semata-mata menghambat kebebasan saya untuk menulis segala apa yang saya pikirkan. Karena ide dasar meluncurkan blog PressThink saya adalah pembebasan. Wow, sekarang saya memiliki majalah saya sendiri. Saya mampu menulis segala apa saja yang saya fikirkan !,” seru Jay Rosen.

Tipikal postingan blog dia adalah esai yang panjangnya antara 1.500 sampai 2.500 kata. Kalau B.L. Ochman punya nasehat bagi para blogger agar dalam setiap posting menyertakan banyak sekali tautan, link like crazy, formula itu juga berlaku bagi Jay Rosen. Ada sekitar 20-30 hyperlink dalam tiap esainya.


Menggali terowongan. Rumus Rosen, bukan Ochman, yang kemudian lebih suka saya ikuti selama ini. Karena kesenangan. Menulis blog secara relatif panjang-panjang itu, bagi saya, ibarat melakukan aksi petualangan seperti tokoh Alice dalam bukunya Lewis Carrol (1832–1898), Alice's Adventures in Wonderland.

Curiouser and curiouser !,” seru Alice dalam salah satu aksinya. Rasa ingin tahu, rasa penasaran seperti Alice itu, memandu saya. Baik dalam menemukan gagasan, mengumpulkan rujukan, dan juga ketika sedang menuliskannya. Anda sebagai blogger tentu tidak asing dengan hal seperti ini.

Menulis, bagi saya, seperti melakukan perjalanan di bawah tanah. Menggali terowongan. Kalau menulis untuk media cetak, baik surat pembaca atau artikel, memang harus tahu diri. Ada pembatasan kolom, misalnya. Tetapi menulis untuk blog diri sendiri ? Petualangan !

Dalam bertualang itu kita dapat melewati terowongan yang telah ada. Mengikuti topik atau alur pikiran tulisan orang lain sebelumnya. Atau melakukan aksi menggali terowongan-terowongan yang baru dalam kegelapan. Menyambungkan terowongan yang satu ke terowongan lainnya.

Meminjam larik puisinya Robert Frost(1874–1963), “Two roads diverged in a wood, and I—I took the one less travelled by, And that has made all the difference,” maka momen yang membahagiakan muncul, sekaligus membebaskan, ketika menelusuri terowongan gelap baru yang belum pernah ditempuh oleh orang lain. Kita memperoleh pengalaman baru. Termasuk ketika terowongan baru itu akhirnya bisa tembus dan terjalin dengan terowongan lain yang entah berapa tahun lalu, pernah kita jelajahi sebelumnya.

Momen ekshilarasi seperti itu, tak ayal membuat seorang novelis Perancis, Stendhal (1783–1842), mengeluarkan ujaran : mereka yang mampu menikmati aktivitas menulis secara mendalam, membuat aktivitas membaca tak lebih hanya sebagai kesenangan yang kedua.

Menulis relatif lebih panjang itu prosesnya bermiripan dengan pengalaman ketika melakukan olah raga jalan kaki di pagi hari. Ketika baru menempuh 1-2 km, Anda akan merasa biasa-biasa saja. Tetapi melewati ambang tertentu, 3-4 km, tubuh akan mengeluarkan endorphin, morfin alami dari tubuh kita, yang membuat badan merasa nyaman, segar, fikiran pun diliputi keheningan dalam keceriaan.

Dalam blog, jalinan pelbagai terowongan itu bisa berwujud dalam hyperlink, sesuatu mukjijat yang mustahil ditemui pada media berbasis atom/kertas, baik buku atau koran. Atau penyebutan nama-nama pelaku cerita. Memang tidak sedikit para blogger senantiasa berpendekatan me, me, and me, mementingkan diri sendiri.

Tetapi hemat saya blog akan lebih bisa berguna bila dirancang dengan sikap mental yang berkelimpahan. Memang itu ciri media berbasis digital ini. Apalagi semakin banyak nama, peristiwa atau tokoh yang disebut, blog bersangkutan akan berpeluang semakin visible, semakin menonjol, bukan ? Bukankah itu manfat pula dari pengadaan fasilitas tag yang utama ?


Orang Kampung di BBC. Blog adalah senjata andalan gerakan jurnalisme warga. Lebih detilnya, silakan tanya saja kepada dedengkotnya, Dan Gillmor, mantan wartawan berpengaruh dari San Jose Mercury News. Ia pernah bersama satu meja dengan Jay Rosen dalam acara konferensi A Wake Up Call : Can Trust and Quality Save Journalism (2005) di San Antonio, AS. Saat itu Jay Rosen berkata bahwa salah satu peluang bagi para pelaku jurnalisme warga adalah sebagai sumber. Sumber rujukan. Sumber berita.

Sebagai blogger, tanggal 14 Oktober 2007, saya merasakan kemewahan sebagai sumber berita itu. Wartawan Donny Maulana mendaulat saya untuk menjadi nara sumber dalam acara Seni dan Budaya di Radio BBC Siaran Indonesia. Topiknya mengenai langkanya klub komedi sebagai kawah penggemblengan komedian-komedian solo, tunggal, stand-up comedian yang cerdas, demi kemajuan masa depan komedi Indonesia.

Sebagai orang kampung, yang tinggal di Wonogiri, kesempatan bisa ngobrol di corong BBC seperti ini sungguh tak terbayangkan. Blog saya Komedikus Erektus yang membuat hal istimewa itu terjadi. Peristiwa lainnya : sebagai inisiator komunitas penulis surat pembaca se-Indonesia, di bawah payung Epistoholik Indonesia, gara-gara meluncurkan blog pula yang membuat nama saya bisa ditemukan oleh wartawan A. Bimo Wijoseno dari majalah Intisari.

Ia kemudian menuliskan profil dan visi-misi komunitas Epistoholik Indonesia saya di Intisari (Juli/2004), bersanding dengan Bapak Gandhi Sukardi, yang juga aktivis penulis surat pembaca asal Jakarta. Ia adalah ayah dari politikus Laksamana Sukardi, yang kini berkampanye sebagai calon presiden di Pilpres 2009 mendatang. Peristiwa serupa adalah ketika profil keluarga besar, atau trah saya muncul di Harian Solopos (5/7/2007), yang kemudian dijadikan sebagai memorabilia, berupa pin (foto).

Blog juga mampu menjangkau hal jual-beli jeruk bali, citrus grandis, asal Pati. Terkesan dengan perjuangan Pak Sukir, petani pionir jeruk bali madu, saya telah tulis kisahnya di blog Komedikus Erektus saya. Ibu Lanny, seorang pemasok buah-buahan asal Semarang, rupanya telah dipandu oleh Google untuk sampai ke postingan saya satu ini.

Ia lalu menelpon saya. Jadilah kemudian ia berbisnis buah jeruk bali madu dengan Pak Sukir di Pati. Jarak fisik antara Semarang-Pati sebenarnya lebih dekat dibanding jarak Semarang-Wonogiri. Tetapi Ibu Lanny “dipaksa” menempuh jarak kontak Semarang-Wonogiri, dan baru Semarang-Pati. Tak apa, semuanya dilakukan secara elektronik, dan jauh lebih murah adanya !

Kemampuan blog dalam memajang banyak data akan bermanfaat bagi banyak orang. Apalagi seperti diungkap Chris Anderson dalam bukunya The Long Tail (2006), sekarang ini data apa saja yang terpajang di dunia maya semakin mudah untuk ditemukan. Apalagi mesin pencari Google yang semakin hari semakin cerdas ketika semakin banyak data yang terhimpun dalam pangkalan datanya.

Merujuk kemampuan itu, jadikan blog Anda sebagai katalisator. Katalisator dalam ilmu kimia adalah zat, atau sebagai enzim, yang mampu mempercepat atau mempermudah reaksi kimia tanpa dirinya terpengaruh oleh reaksi yang terjadi. Atau dalam bahasa Malcolm Gladwell dalam bukunya The Tipping Point (2000), jadikan atau mampukan juga blog Anda sebagai connector, penghubung. Ada pengalaman kecil saya tentang hal satu ini, tentang festival musik keroncong.


Keroncong Mandarin. “Lagu Bengawan Solo karya maestro keroncong asal Solo, Gesang Martohartono, dinyanyikan dalam irama keroncong, itu biasa. Namun kalau Bengawan Solo dinyanyikan dalam irama keroncong dengan iringan musik tradisional China, itu tidak biasa. Inilah yang ditampilkan Harmony Chinese Music Group Bandung pada Festival Keroncong Internasional 2008 atau International Keroncong Festival 2008, di Solo, Jawa Tengah, Kamis (4/12) malam.”

Itulah awal berita di Harian Kompas (12/12/2008). Kelompok musik Harmony Chinese Music Group asal Bandung itu bisa ikut pentas di Solo gara-gara blog juga. Manajernya, Andrey Harmony, mengirim email kepada saya. Kami tidak saling mengenal. Andrey Harmony ingin mengetahui alamat email atau telepon dari Phedet Wijaya, ketua panitia festival keroncong tersebut.

Pedhet Wijaya adalah tokoh radio di Solo. Ia sebelumnya lama berkiprah di radio Bandung. Saat awal 2007 itu ia sempat berkontak email dengan saya gara-gara isi surat pembaca saya di harian Kompas Jawa Tengah yang memprotes kadar profesionalitas radio Karavan FM Solo yang tidak konsisten dalam me-relai siaran BBC Siaran Indonesia.

Dari postingan saya di blog Esai Epistoholica itulah, kira-kira, Andrey Harmony mengetahui hubungan saya dengan Pedhet Wijaya, juga data alamat email saya. Begitulah akhir ceritanya : kelompok keroncong uniknya Andrey Harmony itu bisa berpentas di Solo. Saya sempat usul kepada Phedet Wijaya agar kegiatan festivalnya itu dibuatkan blog. Email saya itu tidak memperoleh jawaban.

Pengalaman unik ketika blog saya kembali sebagai penghubung, terjadi akhir Januari 2009. Pagi-pagi (25/1/2009) saya memperoleh telepon dari Feby Kumalasari, dari Surabaya Plaza Hotel. Saya tidak mengenalnya. Ia meminta informasi mengenai aktivis LSM yang bergerak dalam advokasi atau kampanye memerangi ancaman bahaya merokok. Hotelnya memutuskan hendak melarang pengunjung untuk merokok dan akan mengadakan kegiatan sosialisasi berupa seminar.

Oh, gumam saya, ternyata blog saya B.U.B.A.R. : Bebaskan Udara Bebas Asap Rokok yang terbengkalai lama itu pun masih bisa bermanfaat. Walau sebenarnya saya tidak tahu mengapa Feby mengontak saya. Mengapa bukan kepada beberapa alamat lain, yang dengan bantuan Google rasanya lebih relevan sebagai sumber rujukan tentang kampanye anti rokok itu dibandingkan wong Wonogiri satu ini ?

Terima kasih, Feby. Dengan bantuan Google juga, dengan fasilitas Internet di Perpustakaan Daerah Wonogiri (“terima kasih untuk Pak Sarjito dan mBak Dewi Werdiningsih”) saya berusaha membantu Feby Kumalasari. Akhirnya saya berusaha hubungkan ia untuk mengontak Dr. Widjajanti dari Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) Jakarta.

Sekadar nostalgia, tahun 2002 saya pernah main ke kantor LM3 ini. Sesudahnya, di tahun 2004, beberapa kali bertukar email dengan dr. Didy Purwanto, saat itu Sekretaris Umum LM3. Beberapa gagasan (menurut saya) inovatif untuk mendukung kampanye lembaga ini, antara lain sebagai “kantor berita bahaya merokok” dengan menyebar informasi rutin ke pelbagai sekolah, sayangnya tidak memperoleh sambutan yang berlanjut untuk direalisasikan.

Kantor LM3 berada di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Saat itu saya memperoleh kaos berslogan kampanye berhenti merokok, “Quit to Win 2002” dan saya kenakan saat menjadi bintang untuk film dokumentasi Honda The Power of Dreams Documentary. Film ini telah ditayangkan selama satu jam di TransTV, 29 Juni 2002. Kaos itu juga saya kenakan ketika jadi bintang di acara Bussett-nya TV7 (2005). Di kaos itu ada pula pesan dan tanda tangan reporternya yang menawan : Erika Diana Rizanti.

Anda, para blogger, juga mampu sebagai bintang. Menurut pakar ekonomi atensi Michael H. Goldhaber, dengan blog kita mampu menjadi bintang. Sebutannya : microstar. Walau pun kecil, menurut saya, bila blog tersebut Anda rancang sebagai connector atau katalisator, maka yakinlah bila sinarnya akan mampu menerangi mereka yang membutuhkannya. Pada saat yang benar-benar tepat adanya.

Saya yakin, pengalaman seperti ini saya tidak mengalaminya sendiri ! ***


Bambang Haryanto, blogger kampung yang tinggal di Wonogiri. Ngeblog sejak 2003. Salah satu blognya Esai Epistoholica diundang untuk tercatat dalam direktori blog berkelas, Blogged.com, yang bermarkas di Alhambra, California, AS.

Memenangkan Mandom Resolution Award 2004 dengan mengusung tesis manfaat blog untuk pemberdayaan komunitas kaum epistoholik atau pencandu penulisan surat pembaca sebagai salah satu pilar penegakan kehidupan berdemokrasi di Indonesia

scd